Ketika Integritas Tergugat dan Misteri Transaksi Terkuak

Bagikan

 

KORANINDONESIA.NET – Dalam setiap pertarungan mencari keadilan di ranah hukum, di mana nasib individu dan masa depan masyarakat dipertaruhkan, peran para penegak hukum menjadi hal yang paling utama. Di antara mereka, sosok advokat berdiri sebagai benteng pembela hak dan penyeimbang keadilan. Namun, beberapa waktu belakangan, serangkaian tindakan dari sebagian oknum advokat yang mempertanyakan integritas, bahkan dituding tidak etis, telah memicu gelombang kegelisahan publik.

Fenomena yang mengikis kepercayaan itu sudah tentu menarik perhatian Dr. Efendi Lod Simanjuntak, S.H., M.H., seorang cendekiawan terkemuka dan praktisi hukum berpengalaman. Pandangannya sebagai seorang advokat menawarkan refleksi krusial terhadap integritas sistem peradilan Indonesia di tengah dinamika hukum yang senantiasa bergerak cepat.

Bagi Dr. Efendi Lod Simanjuntak, etika bukan sekadar pelengkap administratif, melainkan pilar utama yang menopang kemuliaan profesi hukum. Ia secara tegas menggarisbawahi bahwa advokat memanggul predikat “officium nobile” – sebuah profesi yang tidak hanya mulia, tetapi juga mengemban tanggung jawab besar. Predikat ini menuntut lebih dari sekadar penguasaan mendalam terhadap ilmu hukum dan keterampilan beracara yang mumpuni. Ia juga menuntut integritas moral yang tak tergoyahkan, komitmen absolut terhadap kebenaran, dan dedikasi penuh pada penegakan keadilan.

Kekhawatiran besarnya muncul ketika menyaksikan berbagai insiden yang disorot publik, seperti advokat yang secara terang-terangan mengganggu jalannya persidangan, mengeluarkan pernyataan provokatif di luar koridor etika profesi yang semestinya, atau bahkan terlibat dalam praktik yang meragukan. Menurutnya, tindakan-tindakan semacam ini secara langsung merusak harkat dan martabat profesi advokat, dan lebih jauh lagi, mengikis fondasi kepercayaan publik yang menjadi legitimasi utama sistem peradilan di negara ini. Ketika masyarakat mulai meragukan integritas para pembela hukum, keadilan itu sendiri akan sulit dipercaya.

Lebih lanjut, Efendi Lod Simanjuntak menyoroti isu krusial “contempt of court” atau penghinaan terhadap pengadilan, sebuah konsep yang kerap beririsan dengan perilaku advokat di ruang sidang. Ia menegaskan bahwa penghinaan terhadap lembaga peradilan dapat dilakukan oleh siapa saja yang terlibat dalam proses hukum, termasuk aparat penegak hukum itu sendiri.

Hal ini menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran terhadap kewibawaan pengadilan, bahkan jika dilakukan oleh pilar hukum sekalipun. Sebagai contoh ekstrem, seorang hakim yang meninggalkan ruang sidang tanpa alasan yang patut sebagai bentuk penghinaan terhadap proses yang sedang berjalan, menunjukkan betapa krusialnya menjaga martabat peradilan dari dalam.

Mengingat dinamika persidangan yang kerap memanas dalam beberapa kasus besar belakangan ini, di mana batas antara advokasi yang gigih dan perilaku yang melampaui batas etika menjadi samar, Efendi berpendapat bahwa urgensi pembentukan undang-undang khusus tentang contempt of court adalah hal yang tak terelakkan. Dengan regulasi yang jelas, diharapkan akan ada batasan yang tegas untuk menjaga kewibawaan dan kelancaran proses peradilan, memastikan setiap pihak menghormati jalannya persidangan.

Pandangan mendalam Efendi Lod Simanjuntak tentang tantangan penegakan hukum juga merambah ke kompleksitas pembuktian tindak pidana finansial, sebuah area yang kini menjadi medan pertempuran utama melawan korupsi dan kejahatan terorganisasi. Efendi Lod Simanjuntak juga mengingatkan bagaimana aliran uang melalui transaksi keuangan yang mencurigakan sering kali menjadi “pintu masuk” vital untuk mengungkap kejahatan yang lebih besar. Ia mengidentifikasi kejahatan-kejahatan ini sebagai “tindak pidana asal”, yang bisa mencakup korupsi, narkotika, terorisme, hingga kejahatan lingkungan.

Ia menjelaskan bahwa tindak pidana pencucian uang (TPPU) tidak hanya berfungsi sebagai kejahatan lanjutan dari tindak pidana asalnya, tetapi juga bisa berdiri sendiri sebagai kejahatan yang bertujuan utama menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang haram tersebut. Pemahaman akan dua dimensi ini—keterkaitan dengan tindak pidana asal dan eksistensinya sebagai kejahatan mandiri—sangat fundamental bagi penegakan hukum yang efektif.

Menurut Efendi, penelusuran transaksi mencurigakan menjadi krusial, bukan hanya untuk membuktikan tindak pidana asalnya dan menjerat para pelaku utama, tetapi juga untuk tujuan asset recovery atau pengembalian aset hasil kejahatan kepada negara. Ia menyoroti peran penting Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga yang menghasilkan laporan transaksi mencurigakan. Namun, ia mengingatkan bahwa laporan ini hanyalah indikasi awal yang membutuhkan analisis lebih lanjut, penyelidikan mendalam, dan kerja sama lintas sektor oleh aparat penegak hukum.

Tantangan dalam pembuktian kasus-kasus ini sangat besar, mengingat kerumitan skema keuangan yang dirancang untuk mengelabui, keterlibatan jaringan profesional pencucian uang, serta seringnya ketidakkooperatifan dari para tersangka yang berupaya menyembunyikan jejak. Hal ini menuntut, tidak hanya kecerdasan hukum, tetapi juga kemampuan analitis keuangan yang tinggi dari penegak hukum.

Belum lagi berbicara mengenai pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang TPPU. Hal ini adalah sebuah pengecualian penting dari asas umum beban pembuktian yang biasanya menuntut jaksa atau penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dalam TPPU, di sisi lain, pihak tersangkalah yang harus membuktikan legitimasi asal-usul aset atau kekayaan yang dimilikinya.

Konsep ini, yang juga terkait dengan upaya perampasan harta kekayaan yang tidak wajar – bahkan tanpa harus membuktikan tindak pidana asalnya secara spesifik jika kekayaan tidak dapat dijelaskan secara rasional – menjadi senjata vital dalam memerangi korupsi dan kejahatan finansial yang kerap kali sulit dilacak. Diskusi ini menunjukkan betapa krusialnya kompetensi, ketelitian, dan integritas aparat dalam menghadapi skema kejahatan yang semakin canggih, yang membutuhkan pemahaman mendalam tentang anatomi aliran dana ilegal dan mekanisme pembuktian yang inovatif.

Akar masalah yang lebih dalam lagi, menurut Efendi Lod Simanjuntak, menunjuk pada kelemahan sistemik yang turut memperparah tantangan etika dan profesionalisme ini. Salah satu kritik tajamnya diarahkan pada kurangnya standarisasi dalam pendidikan advokat. Efendi mempertanyakan dampak dari putusan Mahkamah Agung (SKMA) 73 Tahun 2015, yang memungkinkan berbagai organisasi advokat untuk menyelenggarakan sumpah profesi.

Menurutnya, kemudahan ini, tanpa diiringi dengan filterisasi kompetensi dan etika yang ketat, secara tidak langsung telah berkontribusi pada penurunan standar profesi dan membanjirnya advokat yang belum memiliki bekal mumpuni. Bahkan, ia menyoroti fenomena “komersialisasi” dalam pendidikan advokat, yang lebih mengutamakan keuntungan daripada kualitas dan integritas. Untuk mengatasi hal ini, ia menyarankan penerapan batasan usia (minimum dan maksimum) bagi praktik advokat, serta perluasan kewenangan Komisi Yudisial agar dapat mengawasi etika seluruh aparat penegak hukum – tidak hanya hakim, melainkan juga jaksa, polisi, dan advokat – demi menciptakan ekosistem peradilan yang lebih akuntabel dan berintegritas tinggi.

Secara keseluruhan, Dr. Efendi Lod Simanjuntak menyuarakan keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi penegakan hukum di Indonesia, yang menurutnya masih jauh dari ideal. Ia melihat adanya indikator kemunduran, seperti rendahnya indeks persepsi korupsi dan masih rendahnya tingkat kepastian hukum. Baginya, masalah etika dan profesionalisme dalam profesi advokat, serta isu-isu sistemik lainnya, tidak boleh lagi dianggap enteng atau sebagai bagian dari rutinitas. Ini adalah kondisi darurat yang membutuhkan perubahan pola pikir dan reformasi sistem yang mendasar dari hulu hingga hilir.

Harapan perbaikan, menurut Efendi, harus dimulai dari peningkatan kualitas pendidikan bagi para profesional hukum, dengan penekanan kuat pada penguasaan ilmu, peningkatan kompetensi, dan yang paling utama, penanaman nilai-nilai etika yang kokoh sejak dini. Hanya dengan fondasi yang kuat ini, para penegak hukum dapat berdiri tegak menghadapi tantangan kejahatan yang semakin kompleks dan mengembalikan kepercayaan publik.

Pandangan kritis dan komprehensif dari Dr. Efendi Lod Simanjuntak ini, baik mengenai integritas profesi maupun tantangan dalam mengungkap kejahatan finansial, memberikan perspektif yang esensial di tengah berbagai kasus hukum yang terus bergulir di Indonesia. Di sinilah integritas pelaku, martabat pengadilan, dan efektivitas sistem peradilan senantiasa diuji. Suaranya menjadi pengingat vital akan pentingnya komitmen dan perbaikan berkelanjutan demi terwujudnya keadilan yang sejati dan sistem hukum yang dihormati di Tanah Air.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top