Krisis Gagal Ginjal di Indonesia : Angka Aktif Pasien Cuci Darah Tembus Lebih dari 130 Ribu Orang

Bagikan

JAKARTA, KORAN INDONESIA – Gagal ginjal — atau dalam istilah klinis penyakit ginjal kronik (PGK) dan gagal ginjal stadium akhir (End-Stage Kidney Disease, ESKD) — merupakan masalah kesehatan publik yang makin menonjol di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah pasien yang membutuhkan terapi pengganti ginjal (termasuk hemodialisis) naik pesat, menimbulkan beban kesehatan, sosial, dan ekonomi yang sangat besar. Penyebab dominan meliputi penyakit tidak menular seperti diabetes mellitus dan hipertensi, serta kasus-kasus gagal ginjal akut yang kadang bersifat klaster. Kurangnya deteksi dini, keterbatasan akses layanan nefrologi di daerah, serta beban biaya membuat penanganan gagal ginjal menjadi tantangan sistem kesehatan nasional.

Angka-angka terbaru menunjukkan lonjakan signifikan pasien yang menjalani cuci darah (hemodialisis) di Indonesia. Laporan media dan data registri menunjukkan angka aktif pasien cuci darah mencapai lebih dari 130 ribu orang pada 2024 — angka yang meningkat dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Angka ini merefleksikan kombinasi peningkatan kasus PGK yang terdiagnosis, perpanjangan harapan hidup pasien dengan terapi, dan peningkatan akses layanan dialisis di beberapa pusat. Selain itu, survei dan kajian nasional memperkirakan ratusan ribu hingga lebih dari 700 ribu orang hidup dengan beberapa bentuk penyakit ginjal kronik (bervariasi menurut definisi dan metode survei). Kementerian Kesehatan juga telah mencatat prevalensi PGK yang memperlihatkan tren naik pada kelompok umur tertentu (terutama lansia).

Mengapa angka ini penting? Karena meningkatnya jumlah pasien dialisis mencerminkan kebutuhan sumber daya besar — fasilitas dialisis, tenaga kesehatan terlatih, obat-obatan, dan anggaran pembiayaan (mis. BPJS/Kemkes). Data registri dan kajian menunjukkan beban yang terus membengkak pada sistem layanan kesehatan.

Penyebab utama: diabetes, hipertensi, dan faktor lain
Secara global dan juga di Indonesia, penyebab dominan penyakit ginjal kronik adalah kondisi metabolik jangka panjang — terutama diabetes mellitus tipe 2 dan hipertensi. Kedua kondisi ini merusak nefron (unit fungsional ginjal) secara bertahap sehingga menyebabkan penurunan filtrasi ginjal kronis. Di Indonesia, prevalensi diabetes dan hipertensi yang tinggi — diperparah oleh pola hidup tidak sehat (konsumsi tinggi garam, gula, rendah aktivitas fisik) — menjadi faktor penggerak utama peningkatan PGK. Selain itu, infeksi ginjal, penggunaan obat-obatan nefrotoksik secara berulang, dan penyakit ginjal turunan atau autoimun juga berkontribusi pada sebagian kasus.

Ada pula fenomena gagal ginjal akut (Acute Kidney Injury, AKI) yang bisa menyebabkan kerusakan ginjal mendadak dan pada beberapa kasus mengarah ke PGK atau kematian — contoh besar yang sempat mengguncang nasional adalah klaster gagal ginjal akut pada anak-anak tahun 2022 yang dikaitkan dengan paparan zat berbahaya pada obat sirup tertentu, yang menegaskan pentingnya pengawasan obat dan produk konsumen.
Setkab

Deteksi dini: tantangan pengetahuan dan akses
Salah satu masalah esensial adalah deteksi lambat. PGK stadium awal seringkali tanpa gejala spesifik; pasien baru merasakan gangguan ketika fungsi ginjal sudah menurun drastis. Skrining sederhana (tes urine untuk proteinuria, pemeriksaan kreatinin/estimasi laju filtrasi glomerulus — eGFR) dapat mendeteksi pasien sejak dini, tetapi cakupan skrining rutin untuk kelompok berisiko (diabetesi, hipertensi, riwayat keluarga PGK, usia lanjut) masih belum merata, terutama di wilayah terpencil. Pola rujukan yang belum optimal, dan keterbatasan tenaga nefrologi di daerah juga memperlambat penanganan pasien sejak tahap awal. Pedoman nasional (PNPK Tata Laksana Penyakit Ginjal Kronik) sudah dirilis untuk menyelaraskan praktik klinis, namun implementasinya memerlukan sumber daya dan pelatihan.

Dampak klinis dan kualitas hidup pasien
Bila PGK tidak dikendalikan, pasien memasuki tahap akhir yang membutuhkan terapi pengganti ginjal: hemodialisis, peritoneal dialysis, atau transplantasi ginjal. Hemodialisis menuntut frekuensi rutin (mis. 2–3 kali/pekan), kunjungan ke fasilitas dialisis, dan pembatasan diet yang ketat. Ini berdampak besar pada kualitas hidup — dari keterbatasan pekerjaan dan pendapatan, hingga beban psikososial pada pasien dan keluarga. Selain itu, komplikasi jangka panjang (anemia, gangguan mineral-tulang, penyakit kardiovaskular) menambah morbiditas dan mortalitas. Kajian lokal mencatat tingkat kelangsungan hidup dan kualitas hidup pasien yang bervariasi menurut akses layanan dan kondisi komorbid.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top