Rumah Subsidi Pemerintah Makin Menyempit, Begini kata Pakar IPB University

Bagikan

KORAN INDONESIA – Program rumah subsidi yang dilakukan pemerintah kini mengalami penyusutan ukuran, semakin minimalis dan semakin mengecil, sehingga dapat menimbulkan permasalahan kehidupan keluarga Indonesia.

Semakin kecilnya ukuran rumah subsidi yang dikelola pemerintah dinilai dapat menimbulkan dampak serius terhadap kehidupan keluarga, dan kini menjadi sorotan banyak pihak termasuk salah satunya Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) IPB University, Dr Yulina Eva Riany.

Menurut keterangan tertulisnya yang diterima koranindonesia.net pada Selasa, 24 Juni 2025, rumah subsidi yang semakin kecil tidak hanya berdampak pada kenyamanan fisik, tetapi juga mengganggu kualitas hubungan antara anggota keluarga.

“Ketika setiap ruang menjadi ruang bersama, maka tidak ada lagi batas sehat antara fungsi, peran, dan kebutuhan pribadi. Kondisi ini berpotensi memicu konflik, stres, dan kelelahan emosional,”ujarnya.

Selanjutnya Ia  mengungkapkan, anak-anak membutuhkan ruang bermain dan belajar yang memadai. Sementara lansia, membutuhkan ruang yang aman dan tenang. Rumah yang sempit, dapat menyebabkan stres kronis dan berdampak pada kesehatan mental seluruh anggota keluarga.

Minimnya privasi juga menjadi isu utama. Konflik rumah tangga bisa timbul akibat hal-hal kecil seperti jadwal kerja atau kebutuhan hiburan yang tumpang tindih.

“Terutama bagi ibu muda, termasuk gen Z, ruang yang sempit memperparah burnout karena tidak adanya ruang relaksasi,” ujarnya. Dampaknya bisa meluas hingga gangguan mood, kecemasan, bahkan depresi ringan.

Dari sisi fisik, rumah yang kecil dan padat sering kekurangan ventilasi dan pencahayaan alami. Hal ini bisa meningkatkan risiko penyakit seperti gangguan pernapasan. Kualitas material bangunan yang rendah juga membuat rumah subsidi rentan terhadap kerusakan dan meningkatkan biaya pemeliharaan jangka panjang.

“Ironis, rumah subsidi yang seharusnya jadi solusi justru bisa menjadi beban ekonomi baru karena renovasi mandiri yang tak sesuai standar dan pengeluaran tambahan,” katanya.

Minimnya ruang publik

Selain itu, Ia juga menyoroti minimnya ruang publik di kawasan rumah subsidi. Jalan yang sempit, kurangnya taman, dan jauhnya dari pusat aktivitas menyebabkan interaksi sosial warga menjadi terbatas. Anak-anak kesulitan membangun relasi sosial, sementara pasangan muda kehilangan dukungan sosial yang penting.

Bagi pasangan gen Z yang memulai hidup rumah tangga, ukuran rumah subsidi yang rata-rata hanya 36 meter persegi dirasa tidak memadai. Apalagi jika mereka bekerja dari rumah, karena tidak adanya ruang kerja khusus menyebabkan tumpang tindih antara aktivitas profesional dan domestik.

Lantas ia menegaskan bahwa penyusutan ukuran rumah subsidi dipicu oleh tekanan ekonomi dan kebijakan pembangunan yang mengutamakan efisiensi lahan. Namun, menurutnya, kebijakan tersebut belum sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan keluarga multigenerasi yang lazim di Indonesia.

“Alih-alih menjadi tempat tinggal yang aman dan nyaman, rumah subsidi berisiko berubah menjadi sumber tekanan baru bagi keluarga,” pungkasnya.***

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *