JAKARTA, KORAN INDONESIA – Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) I Wayan Sudirta menyebut Indonesia berdiri di persimpangan sejarah hukum yang krusial.
Menurut Wayan, kebutuhan akan kepastian hukum dalam interaksi lintas negara bukan sekadar wacana akademis, tetapi imperatif nasional.
Kehadiran Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Perdata Internasional (RUU HPI), lanjut Wayan, masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 bukan sekadar pembaruan regulasi, melainkan sebuah proklamasi kemandirian hukum perdata Indonesia di kancah global.
“Ironi terbesar dalam sistem hukum perdata internasional kita saat ini adalah ketergantungan pada aturan yang diciptakan hampir dua abad lalu,” kata Wayan kepada wartawan, dikutip, Kamis (11/12/2025).
Wayan menegaskan, harmonisasi menjadi kunci. Kata dia, RUU ini harus mampu menyatukan ketentuan yang tersebar dan memastikan tidak ada tumpang tindih dengan aturan sektoral, seperti UU Perlindungan Data Pribadi maupun aturan ketenagakerjaan bagi pekerja migran.
Menurut Wayan, aturan HPI terserak dalam berbagai Undang-Undang (UU) mulai dari Pasal 18 UU ITE, UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan, hingga UU Penanaman Modal.
“Kondisi tambal sulam ini mengakibatkan arah kebijakan hukum menjadi tidak konsisten, dan melemahkan daya saing Indonesia dalam perdagangan serta investasi internasional,” jelas dia.
Kata dia, RUU HPI hadir secara filosofis untuk menjawab tiga pilar utama yakni kepastian hukum, keadilan, dan pelindungan warga negara. Lebih lanjut, Wayan menilai Pemerintah telah menunjukkan keseriusan menyampaikan RUU ini melalui Surat Presiden pada Agustus 2025.
“Sistematika yang diusulkan sangat komprehensif, mencakup 10 bab yang mengatur mulai dari subjek hukum, hukum keluarga, benda, hingga pengakuan putusan asing,” ujarnya.
Wayan menegaskan, urgensi RUU HPI semakin nyata ketika melihat tipologi kasus yang berkembang di masyarakat modern, yang tidak bisa lagi diselesaikan dengan kaca mata hukum abad ke-19.
Pertama, Indonesia sering dianggap “kurang ramah” bisnis karena putusan pengadilan asing sulit dieksekusi di sini. Kedua, banyak pasangan beda negara menghadapi masalah pelik (“limbo”) hukum. Mulai dari masalah double validity (sah di satu negara, tidak di negara lain), hingga perebutan hak asuh anak.
“RUU ini mendesak penerapan asas Habitual Residence (tempat tinggal sehari-hari) demi kepentingan terbaik anak (best interest of the child),” ujar Wayan.
Ketiga, bagaimana cara membagi warisan jika pewaris WNI memiliki Bitcoin di server luar negeri. Keempat, fenomena WNI menggunakan jasa ibu pengganti di luar negeri menimbulkan risiko anak tanpa kewarganegaraan (stateless) saat dibawa pulang.
“RUU HPI harus hadir mengisi kekosongan hukum ini untuk mencegah penyelundupan hukum sekaligus melindungi hak anak,” tegas Wayan.
Selain itu, Wayan mengatakan, sudah ada beberapa isu krusial yang dipetakan bahwa RUU HPI harus menjadi instrumen hukum yang progresif dan antisipatif. Di antaranya, kata dia, RUU harus memperjelas penerimaan atau penolakan terhadap penunjukan kembali (Renvoi).
“Tanpa aturan yang jelas, perkara bisa menjadi ‘ping-pong’ hukum tanpa henti,” jelas Wayan.
Lalu, lanjut Wayan, menghadapi raksasa teknologi, RUU HPI harus sinkron dengan UU PDP, memungkinkan pengadilan Indonesia menjangkau pengendali data di luar negeri yang memproses data warga Indonesia.
Wayan mengatakan, menutup celah penguasaan tanah oleh asing yang menggunakan nama warga lokal bisa dengan menegaskan bahwa kontrak semacam itu batal demi hukum.
“Praktik WNA menguasai tanah Hak Milik di Indonesia dengan meminjam nama warga lokal (Nominee Arrangement) adalah rahasia umum yang melanggar UU Pokok Agraria,” pungkasnya.***
Baca juga: PDIP Nilai Penangkapan Aktivis Lingkungan di Jateng sebagai Preseden Berbahaya bagi Demokrasi



