Mengapa Drama Korea Banyak yang Meromantisasi Pengorbanan Dibandingkan Bertahan Hidup?

Bagikan

BANDUNG, KORAN INDONESIA – Baru-baru ini, banyak drama Korea yang menghadirkan karakter yang memilih pengorbanan diri baik demi orang lain, demi tujuan mulia atau sebagai solusi atas penderitaan hidup.

Sehingga timbul pertanyaan mengenai hubungan atau maksud dibalik pesan-pesan tersebut disaat Korea Selatan menjadi salah satu negara yang menduduki peringkat teratas perihal angka bunuh diri dan lebih dari dua kali lipat rata-rata di antara negara-negara maju (OECD).

1. Tren Naratif Pengorbanan vs. Bertahan Hidup

Kematian atau pengorbanan sering diposisikan sebagai puncak emosional yang menggarisbawahi nilai-nilai seperti kesetiaan, tanggung jawab dan pengabdian total kepada orang lain. Misalnya:

Mengorbankan diri demi bayi, mengakhiri hidup lewat jasa untuk mengakhiri rasa sakit secara fisik, dan mengorbankan diri untuk menjebak seorang penipu di ranah hukum agar dapat dipidanakan.

Narasi semacam ini memungkinkan drama memberikan tekanan emosional yang kuat, tetapi juga mengaburkan realitas bahwa mencari jalan lain untuk tetap hidup adalah pilihan bijak dalam menghormati dan menghargai diri sendiri.

2. Budaya dan Nilai Sosial

Korea Selatan dikenal memiliki budaya yang menekankan nilai tanggung jawab, tidak merepotkan orang lain dan menjaga harga diri meski berada dibawah tekanan sosial.

Narasi drama sering menonjolkan pengorbanan sebagai bentuk tertinggi dari tanggung jawab secara sosial dan moral.

Padahal, melindungi nyawa sendiri adalah sebuah keharusan, biarkan hukum atau orang lain yang melakukannya karena poinnya adalah menghargai diri sendiri sampai titik darah penghabisan.

3. Hubungan Dunia Hiburan dengan Data Aktual

Bunuh diri menjadi penyebab kematian yang dominan pada usia muda, terutama antara usia 10–39 tahun, menunjukkan bahwa fenomena ini bukan hanya statistik umum tetapi juga berakar dalam kehidupan sosial.

Selain itu, terdapat fenomena Werther effect, yakni kecenderungan meningkatnya kasus bunuh diri setelah peristiwa bunuh diri yang dipublikasikan secara luas, terutama yang melibatkan figur publik atau diliput oleh media besar.

Fenomena tersebut menjadi peringatan bagi media, termasuk industri hiburan dan pemberitaan, untuk lebih berhati-hati dalam menyajikan tema bunuh diri.

Menghadapi kemungkinan bahwa paparan media dapat memengaruhi perilaku di dunia nyata, terutama pada kelompok rentan, sejumlah organisasi kesehatan telah mengeluarkan panduan pelaporan yang bertanggung jawab bagi media.

Contohnya, menghindari romantisasi atau heroisasi bunuh diri serta menyertakan informasi bantuan saat tema ini diangkat, meski penerapannya dapat berbeda antara masing-masing media produksi dan media massa.

Marinus Gea Soroti Merosotnya Kebebasan Sipil di Indonesia, Alarm Serius bagi Pemerintah

Scroll to Top