CORE, Tes Baru untuk Prediksi Risiko Sirosis dan Kanker Hati

Bagikan

JAKARTA, KORAN INDONESIA – Sebuah penelitian terbaru menemukan tes sederhana yang mampu memprediksi risiko kerusakan hati serius hingga 10 tahun sebelum gejala pertama muncul.

Temuan ini memberi harapan baru untuk deteksi dini dan perawatan lebih awal. Penyakit hati sendiri diperkirakan merenggut nyawa sekitar 11.000 orang di Inggris setiap tahunnya.

Penyebab utamanya beragam, mulai dari konsumsi alkohol hingga penumpukan lemak berlebih dalam tubuh. Masalahnya, penyakit ini sering tidak menunjukkan tanda-tanda jelas di tahap awal, sehingga pasien biasanya baru terdeteksi saat kondisinya sudah parah.

Tim peneliti dari Karolinska Institute di Swedia mengembangkan tes bernama CORE, sebuah kalkulator berbasis web yang menggunakan metode statistik canggih.

Tes ini didasarkan pada lima faktor: usia, jenis kelamin, serta tiga enzim hati yang umum dicek saat pemeriksaan kesehatan rutin (AST, ALT, dan GGT).

“Ini adalah langkah penting menuju kemampuan melakukan skrining dini penyakit hati di layanan kesehatan primer,” kata peneliti utama, Hannes Hagström.

“Pengobatan dengan obat-obatan kini sudah tersedia, dan semoga dalam waktu dekat juga di Swedia, untuk menangani orang-orang yang berisiko tinggi terkena penyakit hati seperti sirosis atau kanker hati,” lanjutnya.

Tes CORE sendiri melibatkan tiga tes darah dan sudah dipakai untuk mendeteksi sirosis, jaringan parut permanen pada hati yang bisa berkembang menjadi kanker hati.

“Penyakit-penyakit ini makin sering terjadi dan prognosisnya buruk jika terlambat terdeteksi,” tambah rekan peneliti, Rickard Strandberg.

Dalam penelitian ini, tim menganalisis data lebih dari 480 ribu orang di Stockholm yang menjalani pemeriksaan kesehatan antara tahun 1985 hingga 1996.

Setelah dipantau selama 30 tahun, ditemukan bahwa 1,5 persen di antaranya mengalami penyakit hati serius, seperti sirosis, kanker hati, atau harus menjalani transplantasi hati. Model prediksi CORE terbukti akurat hingga 88 persen.

Menariknya, tes ini lebih baik dibandingkan metode yang selama ini dipakai, yakni FIB-4, yang kurang cocok untuk populasi umum.

“Layanan kesehatan primer belum memiliki alat yang tepat untuk mendeteksi risiko penyakit hati serius tepat waktu. FIB-4 tidak sesuai untuk populasi umum dan kurang efektif memprediksi risiko di masa depan,” jelas Hagström.

Tes CORE juga sudah diuji pada kelompok populasi di Finlandia dan Inggris, dan hasilnya tetap menunjukkan akurasi tinggi. Meski begitu, para peneliti menekankan perlunya riset lanjutan terutama pada kelompok berisiko tinggi, seperti penderita diabetes tipe 2 atau obesitas.

Jenis penyakit hati sendiri beragam, mulai dari alcohol-related liver disease, non-alcoholic fatty liver disease, hepatitis, hingga kondisi genetik seperti haemochromatosis. Gejala awal bisa berupa mual, kehilangan nafsu makan, kelelahan, mata atau kulit menguning, bahkan nyeri di bagian kanan perut. Pada tahap lanjut seperti sirosis atau kanker hati, tanda-tandanya makin beragam dan sering kali lebih berat.

Peneliti juga mengingatkan bahwa pola hidup tidak sehat, seperti jarang bergerak, terlalu banyak konsumsi makanan ultra-proses, tinggi garam, lemak, dan gula, ikut mendorong meningkatnya kasus penyakit hati, termasuk pada orang muda.***

 

Baca juga: Unit Baru SEVENTEEN, CxM Resmi Debut dengan Mini Album “HYPE VIBES”

Scroll to Top