JAKARTA, KORAN INDONESIA – Bendera Jolly Roger dan topi jerami One Piece mewarnai aksi protes di Indonesia, Nepal, dan Prancis, jadi simbol kemarahan sekaligus solidaritas anak muda atas kondisi sosial politik di negaranya.
Sosiolog Okky Madasari menilai fenomena ini erat kaitannya dengan pengalaman hidup generasi muda saat ini, seperti tekanan ekonomi, sensor digital, birokrasi yang membingungkan, hingga penyalahgunaan kekuasaan.
“Budaya pop menjadi jembatan antara kemarahan mereka dengan bentuk ekspresi yang bisa dipahami semua orang,” kata Okky, dilansir BBC, Jumat, 12/9/2025.
“Cukup angkat bendera One Piece, dan semua orang tahu: kami muak, kami melawan.”
Akar Aksi di Tiga Negara
- Indonesia
Kemarahan publik memuncak setelah terungkap gaji dan tunjangan anggota DPR lebih dari Rp100 juta per bulan, jauh melampaui upah minimum.
Kondisi ini terjadi di tengah gelombang PHK dan kesulitan mencari kerja. Aksi protes merebak di berbagai kota besar, dengan korban jiwa mencapai 10 orang dan puluhan ditangkap.
- Nepal
Aksi dipicu pemblokiran 26 aplikasi media sosial, termasuk Facebook dan YouTube. Namun, menurut para demonstran, isu sebenarnya adalah korupsi dan kesenjangan sosial.
Kerusuhan berujung pada pengunduran diri Perdana Menteri K.P. Sharma Oli dan Presiden Ramchandra Paudel, serta jatuhnya puluhan korban jiwa.
- Prancis
Gerakan “bloquons tout” atau “blokir semuanya” dipicu kebijakan efisiensi anggaran dan maraknya PHK.
Anak muda turun ke jalan, menutup sekolah, dan memblokir layanan publik di 700 titik aksi. Aksi diikuti lebih dari 200 ribu orang. Perdana Menteri Francois Bayrou akhirnya lengser setelah mosi tidak percaya.
Mengapa One Piece?
Cerita Monkey D. Luffy dan krunya yang melawan penindasan, ketidakadilan, dan penguasa korup dirasa sangat relevan dengan situasi nyata.
Arc Negeri Wano, misalnya, menggambarkan rakyat yang kelaparan karena penguasa dan korporasi yang merusak lingkungan.
“Jadi benang merah One Piece itu soal kebebasan, perlawanan terhadap ketidakadilan, dan represi. Itu sudah kelihatan sejak episode-episode awal,” kata Thea (33), penggemar lama One Piece.
Menurut Okky, generasi sekarang menggunakan simbol budaya pop sebagai identitas sekaligus bahasa perlawanan baru.
“Itu identitas. Anak muda hari ini tumbuh dengan anime, K-pop, komik, film, dan mereka menjadikannya alat untuk berbicara sekaligus cara untuk mendefinisikan diri mereka,” jelasnya.
Okky menambahkan, simbol-simbol ini bukan sekadar tren, melainkan pesan politik.
“Mereka tidak lagi percaya pada simbol-simbol negara yang sudah kehilangan makna. Mereka menciptakan makna baru lewat ikon yang mereka pilih sendiri,” ujarnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa gerakan ini harus tetap diarahkan pada perjuangan nyata.
“Tapi kita juga harus kritis: jangan sampai ini jadi tren sesaat tanpa arah. Simbol harus disambung dengan gerakan yang konkret, terus-menerus, dan punya arah perjuangan,” tandas Okky.
Baca juga: Tunjangan Rp50 Juta Jadi Polemik, Adies Kadir Dilaporkan