KORAN INDONESIA – Anggota Komisi V DPR RI Irine Yusiana Roba Putri menyoroti pengunduran diri 160 guru dari program Sekolah Rakyat yang dinilai sebagai penanda bahwa pembangunan infrastruktur dasar belum menjadi prioritas dalam pelaksanaan program tersebut.
Menurut legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, pembangunan sekolah sebaiknya memperhatikan kemudahan akses bagi siswa dan guru.
“Kalau kita bicara pendidikan, maka air bersih, sanitasi, listrik, dan akses jalan bukan pelengkap, tapi kebutuhan pokok. Bagaimana guru bisa betah mengajar kalau mereka ditempatkan di lokasi yang bahkan kebutuhan dasarnya saja tidak tersedia?” ujar Irine kepada wartawan, Selasa (29/6/2025).
Irine menilai, mundurnya seratusan guru dalam waktu bersamaan memperjelas persoalan mendasar yang sudah lama dikhawatirkan Komisi V DPR, yakni kurangnya perencanaan lintas sektor dalam proyek Sekolah Rakyat.
“Mundurnya ratusan guru secara bersamaan perlu menjadi evaluasi dan perbaikan dalam perencanaan serta koordinasi lintas sektor pada proyek Sekolah Rakyat, utamanya pemenuhan infrastuktur,” jelasnya.
Ia juga menyoroti kondisi Sekolah Rakyat di dapilnya, Maluku Utara. Irine menegaskan, kampung di sekitar sekolah tidak boleh dibiarkan tertinggal.
“Pemerintah melalui kementerian terkait tidak boleh membiarkan kampung di sekitar Sekolah Rakyat dibiarkan tertinggal,” tegas Irine.
Lebih lanjut, anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan infrastruktur, transportasi, dan pekerjaan umum (PU) itu mempertanyakan ketersediaan SPAM dan sanitasi di sekolah-sekolah tersebut, khususnya di wilayah 3T seperti Maluku Utara.
“Dikatakan ada 100 sekolah rakyat, dua di antaranya ada di Maluku Utara. Pertanyaan saya adalah, SPAM-nya ada nggak? Sanitasi nya di mana? Dan jangan sekali-sekali memprioritaskan program prioritas pemerintah pusat dari Pak (Presiden) Prabowo, dibangun, dilakukan, tetapi meninggalkan masyarakat sekitar,” paparnya.
“Sekolah Rakyatnya jadi, ada SPAM-nya, sanitasinya bagus, tapi kampung yang di situ dilupakan. Ini sering kali terjadi. Kita tidak ingin seperti itu,” tambah Irine.
Irine mendesak Kementerian Sosial untuk segera berkoordinasi dengan Kementerian PU, PLN dan pemerintah daerah agar setiap lokasi Sekolah Rakyat memiliki infrastruktur dasar yang memadai sejak awal perencanaan. Termasuk ketersediaan sarana prasarana bagi tenaga pengajar, khususnya yang rumahnya jauh dari lokasi tempatnya mengajar.
“Baik dari sisi akomodasi, transportasi, atau mungkin ketersediaan mess untuk tenaga pengajar yang tempat tinggalnya jauh. Karena banyak yang mundur akibat masalah jarak rumah dan tempatnya mengajar berjauhan,” ungkap Irine.
“Pemerintah harus memperhatikan hal ini. Kemensos harus duduk bersama dengan Kementerian PU dan instansi terkait lain untuk memastikan sarana penunjang untuk Sekolah Rakyat dapat terpenuhi,” sambung Wakil Ketua BKSAP DPR RI tersebut.
Menurutnya, tujuan Sekolah Rakyat sangat baik, yakni untuk memberi akses pendidikan kepada anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Tapi ia mengingatkan agar program tidak bersifat sementara.
“Tapi harus ada kajian dan koordinasi yang maksimal, agar program kerakyatan tak hanya melahirkan solusi sementara. Harus ada keberkelanjutan untuk program mulia seperti Sekolah Rakyat ini,” terang Irine.
“Kalau dari awal fondasinya lemah, ya jangan heran kalau gurunya mundur, anak-anaknya tak bertahan, dan masyarakat kehilangan kepercayaan. Sekolah Rakyat itu ide yang baik, tapi pelaksanaannya harus serius, sistematis, dan berpihak pada masa depan anak-anak Indonesia,” pungkasnya.
Seperti diketahui, sebanyak 160 guru mengundurkan diri dari program Sekolah Rakyat. Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul mengatakan, mereka mundur karena lokasi penempatan terlalu jauh dari tempat tinggal.
Perekrutan guru Sekolah Rakyat dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB). Hingga kini, sudah ada 100 Sekolah Rakyat di seluruh Indonesia dengan lebih dari 9.700 siswa di semua jenjang.***