JAKARTA, KORAN INDONESIA – Nilai tukar rupiah diperkirakan bergerak lemah pada kisaran Rp16.510—Rp16.560 per dolar AS pada Senin, 4/8/2025.
Menurut data Bloomberg, pada Jumat sebelumnya, 1/8/2025, rupiah ditutup melemah sebesar 57 poin atau turun 0,19% menjadi Rp16.513 per dolar AS.
Di sisi lain, indeks dolar Amerika Serikat tercatat naik tipis 0,12% ke posisi 100,09.
Sementara itu, pergerakan mata uang Asia menunjukkan hasil yang bervariasi.
Yen Jepang menguat 0,12%, dolar Hong Kong tidak mengalami perubahan, dolar Singapura melemah tipis 0,02%, dolar Taiwan turun 0,31%, dan won Korea Selatan terkoreksi cukup dalam sebesar 0,86%.
Adapun peso Filipina menguat 0,28%, rupee India naik 0,19%, yuan China turun 0,16%, ringgit Malaysia melemah 0,24%, dan baht Thailand mengalami penurunan 0,15%.
Menurut Pengamat Mata Uang Ibrahim Assuaibi, tekanan terhadap rupiah salah satunya disebabkan oleh kebijakan terbaru Donald Trump.
“Sentimen datang dari Trump yang pada Kamis malam menandatangani perintah yang menguraikan tarif terhadap sejumlah mitra dagang utama AS. Tarif itu menyebutkan bea masuk berkisar antara 10% hingga 50%,” jelasnya dilansir Market Bisnis, Senin, 4/8/2025.
Amerika Serikat telah mencapai kesepakatan dagang dengan beberapa negara seperti Inggris, Jepang, dan Korea Selatan.
Namun, untuk mitra dagang lain seperti Kanada, Trump mengusulkan tarif tinggi hingga 35% yang mulai berlaku 1 Agustus 2025.
Sedangkan untuk Meksiko, tarif yang ada diperpanjang selama 90 hari guna memberi waktu tambahan bagi negosiasi lanjutan.
Pasar keuangan global juga sedang mencermati sejumlah data penting dari Amerika Serikat.
Fokus utama adalah laporan ketenagakerjaan bulan Juli, termasuk data Nonfarm Payroll (NFP), PMI Manufaktur dari ISM, serta Indeks Sentimen Konsumen versi Universitas Michigan.
Dari dalam negeri, pelemahan rupiah juga dipicu oleh data ekonomi Indonesia yang kurang menggembirakan.
Pelaku pasar merespons negatif setelah laporan S&P Global mencatat bahwa indeks aktivitas manufaktur Indonesia (PMI) pada Juli 2025 turun ke angka 49,2—di bawah ambang batas netral 50.
Ini menjadi bulan keempat berturut-turut industri manufaktur mengalami kontraksi, menunjukkan penurunan aktivitas produksi dan melemahnya permintaan dari pasar.
Ekspor juga kembali lesu. Perusahaan-perusahaan lokal kini cenderung melakukan efisiensi, yang terlihat dari pemangkasan tenaga kerja dan pengurangan pembelian bahan baku.
Baca juga: Pemblokiran Rekening Tidak Aktif Dikritik, Dinilai Rugikan Masyarakat