PEKALONGAN, KORAN INDONESIA – Insiden pengusiran tamu di sebuah hotel syariah di Kota Pekalongan kembali ramai dibicarakan setelah video cekcok di front office beredar luas di TikTok pada Rabu malam, 13 Agustus 2025.
Dalam video itu, tamu mengaku diminta membayar biaya tambahan meski sudah melunasi kamar lewat aplikasi online travel agent (OTA).
Konten tersebut cepat menyebar dan memicu perdebatan soal transparansi tarif hotel dan hak konsumen.
Seiring viralnya video, terungkap bahwa selisih harga terjadi karena kebijakan tarif minimal hotel tidak sesuai dengan harga promo di aplikasi.
Di lapangan, petugas meminta top up agar sesuai tarif dasar properti. Peristiwa ini memantik diskusi lebih luas: bolehkah hotel menerapkan “tarif minimal” yang berbeda dengan harga final di OTA?
Identitas hotel pun mengemuka di berbagai kanal. Sejumlah pemberitaan menyebut insiden terjadi di Hotel Indonesia Syariah Pekalongan.
Nama hotel tersebut sontak menjadi sorotan, dengan banyak warganet menyoroti pengalaman tamu serta praktik penetapan harga.
Pihak hotel merespons dengan menyampaikan permohonan maaf terbuka. Pengelola menyatakan telah meminta maaf kepada PHRI, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Pekalongan, Wali Kota, dan pihak terkait lainnya.
Manajemen juga menginformasikan rencana pertemuan dengan tamu untuk menyelesaikan masalah secara baik-baik.
Di sisi lain, PHRI menilai kasus ini menjadi pembelajaran bagi kedua pihak: hotel perlu memastikan sinkronisasi tarif dengan OTA, sementara konsumen penting memastikan ketentuan promo dan syarat tambahan, jika ada.
PHRI menekankan perlunya kejelasan kontrak antara hotel dan platform agar kejadian serupa tak terulang.
Gulir dampak reputasi terlihat cepat. Rating ulasan Google hotel sempat terimbas buntut viralnya video. Fenomena “trial by social media” ini menunjukkan betapa cepatnya persepsi publik berubah ketika sengketa layanan terjadi di ruang digital.
Dalam perkembangan berikutnya, laporan lanjutan menegaskan duduk perkara: tamu memesan dengan tarif promo yang sangat rendah melalui OTA, sementara hotel berpegang pada kebijakan tarif minimal internal. Ketidaksinkronan itu memuncak menjadi insiden pengusiran yang menyalakan amarah warganet.
Kasus Pekalongan ini menyoroti pekerjaan rumah ekosistem pariwisata digital: sinkronisasi real-time antara channel manager dan OTA, kejelasan syarat & ketentuan promo, serta protokol penanganan komplain di front office. Transparansi harga—mulai dari pajak, deposit, hingga kebijakan biaya tambahan—wajib disepakati dalam kontrak dan ditampilkan jelas di aplikasi untuk menghindari “surprise charges”.
Bagi pelaku usaha, momentum ini bisa menjadi titik balik memperkuat SOP layanan: pelatihan komunikasi petugas FO, jalur eskalasi cepat ke manajemen, serta mekanisme rekonsiliasi tarif dengan partner OTA. Sementara bagi wisatawan, langkah preventif meliputi menyimpan bukti pemesanan lengkap, membaca ketentuan promo, dan menghubungi CS OTA/hotel saat ada ketidaksesuaian di lokasi.
Per 18–19 Agustus 2025, posisi terbaru menunjukkan pihak hotel sudah menyatakan permohonan maaf dan membuka kanal dialog, sementara asosiasi perhotelan mendorong sinkronisasi kebijakan tarif dengan platform. Publik menanti tindak lanjut konkret—mulai dari pertemuan manajemen-hotel dengan tamu hingga pembenahan sistem harga—agar kasus serupa tak berulang dan kepercayaan pada layanan akomodasi tetap terjaga.



