JAKARTA, KORAN INDONESIA – Manchester United harus melupakan derby kali ini. Pasukan Ruben Amorim kalah telak 0-3 dari Manchester City di Etihad, membuat catatan manajer asal Portugal itu di Premier League hanya delapan kemenangan dari 31 laga.
Apakah kekalahan ini karena filosofi permainan yang keliru, kesalahan individu, atau memang karena City tampil begitu impresif?
Sejak babak pertama, City banyak menyerang lewat sisi kiri. Pep Guardiola tampak sengaja memanfaatkan celah dari lima bek United, dua gelandang tengah, serta bek sayap yang agresif naik menekan.
Bek kiri muda, Nico O’Reilly, melebar di garis lapangan untuk menarik perhatian Noussair Mazraoui. Posisi itu membuat Jeremy Doku, yang biasanya dijaga Mazraoui, bisa bergerak lebih ke dalam.
Keputusan Mazraoui fokus ke area sayap memberi Doku ruang di tengah. Hasilnya, City menciptakan keunggulan jumlah pemain di lini tengah dengan Rodri, Phil Foden, Doku, dan Tijjani Reijnders membentuk “kotak” melawan dua gelandang United.
Taktik ini mirip dengan yang pernah dipakai Fulham melawan United awal musim, saat Alex Iwobi meninggalkan pos sayapnya untuk membuat kelebihan pemain di tengah.
Masalah muncul ketika Leny Yoro, bek tengah kanan United, dipaksa naik menempel ke Doku yang turun jauh ke area City. Hal itu sulit dilakukan untuk bek tengah murni, apalagi Foden juga menempati area tersebut.
Sering kali Yoro ragu, kadang maju menekan, kadang mundur menjaga garis pertahanan. Akibatnya pressing United tidak sinkron, selalu ada pemain City yang bebas menerima bola.
Kapten United, Bruno Fernandes, mengakui masalah itu seusai laga.
“Kami harus lebih berani dengan tekanan penuh untuk mencegah gol pembuka,” katanya.
“City ambil risiko itu melawan kami, kami juga seharusnya begitu. Saya coba menekan Rodri karena tugas gelandang memang menutup dia, sementara bek harus naik ke Foden. Tapi ada miskomunikasi dengan Leny dan kami memberi terlalu banyak ruang di lapangan,” lanjutnya.
Salah satu trik City yang efektif adalah teknik pinning, yang mana menempatkan pemain di area tertentu agar lawan terpaksa ikut menjaga. O’Reilly, misalnya, membuat Mazraoui tetap melebar, sehingga Doku bebas bergerak ke dalam tanpa pengawalan.
Di sisi lain, pergerakan Reijnders ke arah Luke Shaw membuat bek kiri United itu tak bisa meninggalkan posnya. Dari situ, Doku mendapat bola tanpa tekanan dan memberi assist untuk gol pertama City.
Gol pembuka City juga menunjukkan kelemahan lain United. Fernandes dan Manuel Ugarte sudah berada di posisi bertahan, tetapi gagal mengantisipasi bola liar di kotak penalti.
Fernandes beberapa kali tak disiplin mengikuti lari lawan dari lini tengah, ini yang sebelumnya juga terjadi saat United kebobolan melawan Fulham lewat gol Emile Smith Rowe.
Guardiola justru memaksimalkan keunggulan itu dengan menempatkan Foden di belakang Erling Haaland. Foden yang punya timing bagus untuk masuk kotak penalti akhirnya berhasil mencetak gol.
Setelah laga, perdebatan muncul: masalah United ini karena kualitas pemain atau dikarenakan sistem permainan? Amorim jelas menegaskan dirinya tidak akan mengubah filosofi permainan hanya karena hasil buruk.
“Ketika saya ingin mengubah filosofi, saya akan melakukannya. Jika tidak, yang harus diganti adalah orangnya,” ujarnya.
Namun, skuad United jelas tidak akan berubah sebelum bursa transfer Januari. Itu berarti Amorim mungkin perlu menyesuaikan peran pemain atau sistemnya jika tidak ingin masalah seperti ini terus berulang.
Sementara itu, Guardiola sekali lagi menunjukkan fleksibilitas. Dengan Gianluigi Donnarumma di bawah mistar, City bahkan sesekali bermain lebih langsung dari belakang.
Hal ini menujukkan sesuatu yang jarang diasosiasikan dengan tim Guardiola, tapi efektif untuk menutup kelemahan dan memaksimalkan kekuatan para pemainnya.***
Baca juga: Pemain Hoki Profesional Orca Wiesblatt Meninggal di Usia 25 Tahun akibat Kecelakaan Mobil



