JAKARTA, KORAN INDONESIA – Dua mantan peneliti keamanan Meta muncul sebagai whistleblower dan menuding raksasa media sosial itu menutup-nutupi potensi bahaya bagi anak dari produk virtual reality (VR) mereka.
“Meta memilih untuk mengabaikan masalah yang mereka ciptakan dan menyembunyikan bukti dari pengalaman negatif para pengguna,” ungkap Jason Sattizahn, salah satu mantan peneliti tersebut, mengatakan kepada Komite Senat AS pada Selasa (14/9).
Sidang ini digelar sehari setelah Washington Post melaporkan klaim para whistleblower bahwa tim hukum Meta ikut campur tangan dalam riset internal yang seharusnya bisa menunjukkan adanya risiko pada anak.
Meta, induk dari Facebook, Instagram, dan WhatsApp, membantah tudingan itu. Dalam pernyataannya, perusahaan menyebut tuduhan tersebut “omong kosong”.
Namun, Sattizahn bersama Cayce Savage, yang pernah memimpin riset pengalaman pengguna muda di platform VR Meta, bersaksi bahwa perusahaan pernah meminta peneliti menghapus bukti adanya risiko pelecehan seksual di produk VR. Mereka juga menuding Meta melarang riset yang berpotensi menunjukkan bahaya bagi anak.
Meta menolak tudingan ini. Menurut juru bicara perusahaan, klaim itu didasarkan pada dokumen internal yang diseleksi secara sepihak untuk membangun narasi palsu.
Meta juga menegaskan tidak ada larangan riset, bahkan dalam beberapa tahun terakhir mereka telah menyetujui hampir 180 studi terkait Reality Labs, termasuk soal keamanan dan kesejahteraan anak.
Meski begitu, Sattizahn, yang bekerja di Meta sejak 2018 hingga 2024, menilai jawaban perusahaan hanyalah cara untuk menghindar.
“Pernyataan itu cuma menunjuk pada angka yang tidak berarti apa-apa,” katanya, sambil menekankan riset Meta selama ini diseleksi dan dimanipulasi.
Dalam persidangan, Cayce Savage juga mengungkap temuan mengejutkan saat meneliti platform Roblox yang populer di kalangan anak-anak.
Ia menyebut ada kelompok predator yang menggunakan Roblox untuk mendirikan klub strip dan membayar anak-anak menggunakan Robux (mata uang virtual dalam aplikasi yang bisa ditukar dengan uang asli).
“Saya sudah memperingatkan Meta dan mengatakan bahwa Roblox sama sekali tidak boleh diizinkan ada di headset mereka,” ujar Savage.
Namun, ia menambahkan, Roblox hingga kini masih tersedia di toko aplikasi VR milik Meta.
“Di Roblox, keselamatan adalah prioritas utama. Kami bekerja tanpa henti untuk menghapus konten bermasalah dan pelaku jahat melalui sistem moderasi 24/7, serta merespons cepat laporan penyalahgunaan, termasuk memblokir akun dan melapor ke penegak hukum,” kata juru bicara Roblox membantah klaim tersebut kepada BBC.
Meta sendiri menyediakan fitur kontrol orang tua di headset Quest dan game Horizon Worlds, yang memungkinkan orang tua memantau interaksi anak.
Tapi dalam sidang, Senator Ashley Moody dari Florida mengaku kesulitan mengakses fitur tersebut.
“Tidak mengejutkan jika seseorang seperti saya, dengan semua pengetahuan ini, harus bertanya ke anak saya sendiri ‘bagaimana cara menemukan kontrol orang tua?’” katanya.
Sattizahn dan Savage bukanlah mantan karyawan Meta pertama yang buka suara. Pada 2021, Frances Haugen juga sempat menggemparkan publik setelah membocorkan dokumen internal yang menunjukkan Instagram bisa berdampak buruk pada kesehatan mental remaja.
Kala itu, CEO Meta Mark Zuckerberg membantah tuduhan bahwa perusahaan lebih mementingkan keuntungan dibanding keselamatan pengguna.
Namun, ia juga sempat meminta maaf secara terbuka kepada keluarga yang merasa dirugikan oleh produk Meta.
“Saya minta maaf atas semua yang telah kalian alami,” kata Zuckerberg saat sidang Senat tahun lalu.***
Baca juga: Google Pixel 10 Series Resmi Dirilis, Ini 5 Fitur AI Canggih yang Wajib Kamu Tahu



