Fraksi PDIP Sepakat Perjuangkan Potongan 10% bagi Driver Online

- Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) khususnya Komisi V DPR RI menggelar forum diskusi grup (FGD) yang mempertemukan aplikator online dan pengemudi ojek online pada Senin, 27 Oktober 2025
Bagikan

JAKARTA, KORAN INDONESIA – Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) khususnya Komisi V DPR RI menggelar forum diskusi grup (FGD) yang mempertemukan aplikator online dan pengemudi ojek online pada Senin, 27 Oktober 2025. Diskusi ini dihadiri berbagai pihak seperti Garda Ojol, Komunitas SPAI, Asosiasi APOB, dan perwakilan dari aplikator Indrive, Jogya Kita, serta Josal.

Anggota DPR RI Fraksi PDIP Edi Purwanto menekankan pentingnya aturan khusus untuk mengatur transportasi online.

“Kami dapat banyak laporan potongan berkisar 40-50%. Banyaknya potongan dari para aplikator ini disebabkan oleh tidak adanya peraturan bagi aplikator dan tidak ada punishment,” ujarnya, dikutip, Selasa (28/10/2025).

Edi juga menyampaikan bahwa Komisi V PDIP akan mendorong pembuatan undang-undang khusus terkait transportasi online.

“Dari Komisi V PDIP akan mendorong untuk bikin undang-undang khusus yang mengatur transportasi online,” lanjutnya.

Sementara itu, Adian Napitupulu yang dijuluki “Bapak Ojol Nasional” oleh warganet menegaskan perjuangannya agar potongan aplikator dibatasi maksimal 10 persen.

“Begini, maksimal per hari ini, per saat ini kita meminta komisi aplikator tidak lebih dari 10 persen. All in,” tegas Adian.

Ia juga menyoroti kesejahteraan pengemudi yang dinilai masih perlu perhatian lebih. Adian mendorong pemerintah mengadakan forum diskusi terpadu yang melibatkan semua pihak terkait.

“Itu yang harusnya perlu pemerintah membuat FGD-FGD dan diskusi terbuka baik dengan Komisi Lima, maupun dengan teman-teman driver dan aplikator,” jelas Adian.

Adian turut mengungkap data yang menunjukkan ketimpangan antara biaya operasional dan besarnya komisi yang diterapkan. Menurutnya, biaya operasional aplikator per transaksi hanya sekitar Rp204, namun potongan yang dikenakan bisa lebih dari 20 persen, ditambah biaya tambahan Rp2.000 per transaksi.

“Artinya keuntungan aplikasi-aplikasi yang mengambil di atas 20 persen ini gede banget. Dan yang lebih menyedihkan, uangnya itu sebagian lari ke luar negeri,” tegasnya.

Adian juga mengkritik praktik aplikator yang dianggap tidak transparan terhadap pemerintah dan DPR.

“Semua kita di-prank sama aplikator itu. Aplikator-aplikator ini yang bersembunyi di data-data yang tidak pernah mereka publis. Jadi siapa yang di-prank? Gua di-prank, DPR kena prank, driver kena, konsumen juga kena,” ucapnya.

Sebagai langkah ke depan, Adian berharap agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Transportasi Online segera dibentuk untuk mengatur hubungan kerja, komisi, dan perlindungan sosial pengemudi.

“Kita sih lebih berharap pada Undang-Undang Transportasi Online-nya ya. Tapi kita sadar bahwa memproduksi sebuah undang-undang itu tidak gampang, tidak sederhana, dan biasanya tidak cepat,” pungkasnya.***

Baca jugaOjol Diajak Jadi “Mata dan Telinga” Polisi

Scroll to Top