Kelaparan Mengancam di Negara Bagian Rakhine, Myanmar: PBB Peringatkan Bencana Kemanusiaan

Bagikan

KORAN INDONESIA – Situasi kemanusiaan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, semakin memburuk.

Program Pangan Dunia atau World Food Programme (WFP) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa memperingatkan bahwa wilayah ini sedang menuju “bencana besar”, seiring dengan meningkatnya jumlah warga yang terpaksa mengungsi dan kelaparan karena konflik yang tak kunjung usai.

Sejak kudeta militer pada tahun 2021, perang saudara menghantam hampir seluruh wilayah Myanmar. Namun, kondisi di Rakhine jauh lebih parah dibandingkan wilayah lain karena blokade militer yang membuat daerah ini terisolasi total. Salah satu kamp pengungsian terbesar, Ohn Taw Kyi di dekat kota Sittwe, jadi saksi bisu tragedi memilukan.

Pada 20 April lalu, seorang ayah berusia 50 tahun nekat mencampur racun serangga ke dalam makanan yang dimakan bersama istri dan dua anaknya karena mereka tak lagi sanggup menahan lapar. Sang ayah meninggal, sementara istri dan anak-anaknya selamat berkat pertolongan tetangga.

Menurut kesaksian warga Sittwe, ini bukan kasus satu-satunya. Pada Juni lalu, sebuah keluarga etnis Rakhine juga dilaporkan meninggal karena cara yang sama. Sementara itu, pekan lalu, pasangan lansia yang baru mengungsi akibat pertempuran antara militer Myanmar dan kelompok bersenjata Arakan Army, ditemukan bunuh diri karena tidak tahan dengan tekanan hidup.

WFP melaporkan bahwa tahun ini pendanaannya secara global turun 60% dibandingkan tahun 2024. Akibatnya, mereka hanya mampu membantu 20% dari warga Myanmar yang mengalami krisis pangan parah.

Padahal, jumlah keluarga yang tak lagi bisa mencukupi kebutuhan dasarnya meningkat drastis sejak awal tahun.

“Orang-orang yang terjebak dalam lingkaran setan terisolasi oleh konflik, kehilangan mata pencaharian, dan tanpa jaring pengaman kemanusiaan,” ujar Michael Dunford, Perwakilan WFP di Myanmar.

“Kami mendengar kisah memilukan, mulai dari anak-anak menangis kelaparan, ibu-ibu rela tidak makan demi anaknya. Keluarga sudah melakukan segala cara, tapi mereka tidak bisa bertahan sendirian,” tambahnya.

Rakhine memang sudah lama jadi titik rawan konflik, mulai dari kerusuhan tahun 2012 yang memaksa lebih dari 140.000 Muslim Rohingya mengungsi, hingga tragedi 2017 yang membuat ratusan ribu Rohingya melarikan diri ke negara lain.

Masalah makin rumit sejak militer memblokir seluruh jalur darat dan perdagangan ke Rakhine pada tahun 2023, dengan tujuan mencegah suplai ke Arakan Army. Akibatnya, petani tak bisa menjual hasil panen, dan nelayan Rohingya dilarang melaut, yang mana merupakan satu-satunya sumber penghasilan dan makanan mereka.

“Orang tidak bisa keluar. Tidak ada pekerjaan. Harga barang sudah naik lima kali lipat,” kata seorang penghuni kamp kepada BBC.

“Tidak ada pemasukan, jadi mereka benar-benar kesulitan. Sekarang kebanyakan orang bertahan hidup dengan makan rebusan umbi talas,” ujarnya lebih lanjut.

Beban warga bertambah berat karena militer mewajibkan perekrutan warga sipil untuk bertempur melawan Arakan Army. Ribuan pria Rohingya sudah diminta bergabung untuk membela Sittwe. Keluarga yang tak bisa mengirim anggota laki-laki, harus membayar iuran untuk mendukung mereka yang direkrut.

Mohammad, seorang warga Rohingya di kamp dekat Sittwe, mengatakan bahwa biasanya keluarga menggunakan tunjangan dari WFP untuk membayar iuran tersebut. Tapi bantuan itu sempat dihentikan pada Maret lalu. Ketika bantuan kembali disalurkan pada Juni, banyak keluarga langsung menggunakannya untuk membayar utang.

WFP menyebutkan bahwa semua komunitas di Rakhine kini menunjukkan tanda-tanda darurat ekonomi yang serius.

“Keluarga terpaksa melakukan segala cara untuk bertahan hidup: utang yang menumpuk, mengemis, kekerasan dalam rumah tangga, anak putus sekolah, ketegangan sosial, hingga perdagangan manusia,” ujarnya.

Kekurangan dana ini, menurut WFP, adalah tanggung jawab banyak negara donor. Mereka tidak menyebut secara langsung siapa saja, tapi pemangkasan besar-besaran oleh pemerintahan Trump yang memangkas 87% dana USAID diyakini berperan besar dalam krisis ini. Tahun lalu, Amerika Serikat menyumbang hampir $4,5 miliar (sekitar Rp72 triliun) ke WFP, hampir setengah dari total donasi global.

Pada November tahun lalu, PBB sudah memperingatkan adanya kelaparan yang akan datang di Rakhine. Fakta bahwa sembilan bulan kemudian kondisi justru semakin parah dan WFP masih harus meminta bantuan, menggambarkan betapa sulitnya lembaga kemanusiaan bekerja di tengah krisis yang seolah diabaikan dunia internasional.***

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top