KORAN INDONESIA – Seorang bayi perempuan berusia satu bulan meninggal dunia setelah menjalani praktik sunat perempuan atau female genital mutilation (FGM) di Gambia.
Kabar duka ini langsung memicu gelombang kemarahan dari masyarakat dan para aktivis perlindungan anak.
Menurut pihak kepolisian, bayi tersebut dilarikan ke rumah sakit di Ibu Kota Banjul akibat pendarahan hebat. Sayangnya, ia dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit.
Hasil autopsi masih menunggu, namun banyak pihak menduga kuat bahwa FGM menjadi penyebab utama kematiannya.
Praktik FGM sendiri telah dilarang di Gambia sejak tahun 2015. Pelaku dapat dikenai hukuman penjara hingga tiga tahun, bahkan bisa dihukum seumur hidup jika korban meninggal dunia akibat tindakan tersebut.
Meski begitu, hingga kini baru ada dua kasus yang diproses secara hukum, dan satu yang berujung pada vonis pada tahun 2023.
Organisasi non-pemerintah Women In Leadership and Liberation (WILL) mengeluarkan pernyataan tegas menyikapi insiden ini.
“Budaya bukan alasan, tradisi bukan tameng, ini adalah kekerasan, murni dan jelas,” tulis WILL dalam pernyataan resminya.
Polisi mengonfirmasi bahwa dua perempuan telah ditangkap terkait dugaan keterlibatan mereka dalam kasus ini.
Anggota parlemen dari Distrik Kombo Utara, wilayah tempat kejadian berlangsung, juga angkat bicara. Ia menegaskan pentingnya perlindungan anak dari praktik berbahaya seperti ini.
“Kehilangan anak tak berdosa ini jangan sampai dilupakan. Biarlah ini menjadi titik balik dan momen bagi negara kita untuk memperbarui komitmen tanpa kompromi dalam melindungi hak hidup, keselamatan, dan martabat setiap anak,” kata Abdoulie Ceesay.
FGM adalah praktik pemotongan atau pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin luar perempuan, yang umumnya dilakukan demi alasan sosial, keyakinan agama, kebersihan, menjaga keperawanan, atau anggapan bahwa hal itu membuat perempuan lebih ‘layak’ untuk menikah.
Gambia termasuk dalam 10 negara dengan angka FGM tertinggi di dunia. Sekitar 73% perempuan dan anak perempuan berusia 15-49 tahun dilaporkan pernah menjalani praktik ini. Banyak di antaranya bahkan disunat sebelum usia enam tahun.
Fatou Baldeh, pendiri WILL, menyampaikan kepada BBC bahwa akhir-akhir ini makin banyak bayi yang menjadi korban FGM.
“Orang tua merasa jika anak perempuan mereka disunat saat masih bayi, proses penyembuhannya lebih cepat. Tapi juga, karena ada hukum, mereka merasa melakukannya di usia sangat muda akan lebih mudah disembunyikan, supaya tidak diketahui orang lain,” ungkapnya.
Tahun lalu, parlemen Gambia sempat menerima usulan untuk mencabut larangan FGM, namun rencana itu berhasil digagalkan oleh desakan dari para aktivis.
Saat ini, FGM telah dilarang di lebih dari 70 negara, namun praktik ini masih bertahan di sejumlah wilayah, terutama di negara-negara mayoritas Muslim di Afrika, termasuk Gambia.***
Baca juga: 11 PRT Asing di Hong Kong Ditangkap karena Dugaan Aborsi Ilegal



