BANDUNG, KORAN INDONESIA – Di sebuah sudut kota kecil yaitu Cimahi, lahir sebuah brand yang unik: Handmade by 2t. Bukan sekadar produk tas atau hasil jahitan lainnya, setiap karya yang lahir dari tangan terampil Tute Kamal-sang pemilik brand- adalah cerita, perjalanan, sekaligus wujud mimpi yang terus dijaga dan digapai.
Ketertarikan akan dunia jahit-menjahit sebenarnya sudah tumbuh sejak lama. Tute mengenang, “Semua berawal dari mesin jahit hitam tua di rumah. Mesinnya masih digerakkan kaki, dan saya nekat mencoba menjahit hanya berbekal keberanian.”
Saat itu, masa kuliah menjadi pintu kecil bagi hobi yang tanpa sadar membentuk jalan panjang hingga kini. Jahitan pertamanya sederhana: sebuah tas seadanya, dengan desain yang hanya mengandalkan khayalan. Pesanan datang dari seorang teman kampus.
Tidak berhenti di situ, ia kembali dipercaya membuat kantung rantang untuk teman lain yang hobi naik gunung. Meskipun pada saat itu aktivitas menjahit hanya sekadar hobi untuk mengisi waktu senggang, benih cinta pada dunia kain dan benang mulai tumbuh.
Waktu bergulir. Saat bekerja di luar kota, ia kembali menghidupkan hobinya dengan membeli mesin jahit portable pertama. Dari situ, karya-karya kecil mulai lahir: celana teman yang sobek, sarung bantal, hingga penutup tempat tidur anak. “Saya belum banyak pesanan waktu itu, lebih banyak membuat untuk koleksi pribadi,” kenangnya sambil tersenyum.
Namun, takdir membawanya pulang ke Cimahi. Di kota inilah, pesanan mulai berdatangan. Walau skalanya kecil, ragam permintaan cukup berwarna: tas, sarung kasur, penutup galon, taplak kulkas, dan masih banyak lagi. Konsumen pun datang dari lingkaran terdekat—teman kantor, sahabat, hingga rekan dari luar kota.
Menariknya, ide-ide desain lahir bukan dari pola baku. Ia mengaku tidak pernah menggunakan pola dalam menjahit. “Saya hanya mengandalkan khayalan, lalu langsung menggunting kain sesuai imajinasi,” katanya.
Metode ini kerap menuai kritik, terutama dari sang ibu yang menjadi penilai setia setiap hasil karyanya. Kritik mungkin terdengar keras, namun justru menjadi energi untuk terus memperbaiki diri.
Material yang digunakan pun beragam—katun, kanvas, hingga kain impor yang dibeli secara online maupun lewat komunitas crafter. Bagi sang pendiri, setiap kain memiliki cerita, setiap jahitan menyimpan doa agar kelak produk itu menemani perjalanan pemiliknya.
Dalam hal penjualan, Tute Kamal masih sederhana. Foto produk dibagikan lewat Facebook, Instagram @tute_kamal, status WhatsApp, hingga toko online. Belum ada gerai fisik, apalagi produksi besar-besaran. Semua masih dikerjakan sendiri, dengan ritme yang diwarnai semangat sekaligus keterbatasan waktu.
Meski begitu, kecintaannya pada menjahit membuatnya tak segan berbagi. Ia pernah memberi pelatihan menjahit untuk teman dan komunitas kecil di kota, bukan sebagai pengajar, tetapi sebagai teman belajar.
“Bagi saya, pelatihan itu bukan soal mengajar. Lebih pada berbagi cerita, saling memberi semangat, dan tumbuh bersama,” ujarnya. Tak jarang ia juga mengikuti workshop jahit dari crafter lain, demi memperluas pertemanan sekaligus menambah ilmu.
Banyak ide kreatif yang masih menunggu untuk diwujudkan. Tetapi di tengah keterbatasan, satu cita-cita besar terus digenggam: memiliki toko karya jahit sendiri, layaknya toko handmade populer di Bangkok, Thailand.
“Tidak apa-apa bermimpi dulu. Bagi saya, mimpi adalah penyemangat, alasan untuk tetap produktif setiap hari,” ucapnya penuh keyakinan.
Handmade by 2T bukan sekadar brand handmade. Ia adalah perjalanan seorang perempuan dengan keberanian, ketekunan, dan cinta pada jahit-menjahit. Setiap benang yang dijahit adalah doa, setiap karya adalah bukti bahwa mimpi, sekecil apapun, layak untuk diperjuangkan.***