KORAN INDONESIA – Polresta Bandara Soekarno-Hatta, di bawah jajaran Polda Metro Jaya, kembali berhasil menghalangi keberangkatan 36 orang yang diduga akan menunaikan ibadah haji secara tidak resmi melalui Bandara Soetta.
Kompol Yandri Mono, Kasat Reskrim Polres Bandara Soetta, menyampaikan bahwa saat ini pihaknya tengah memeriksa pihak penyelenggara yang membawa puluhan orang tersebut.
“Modusnya masih sama, yakni menggunakan penerbangan dengan rute transit,” jelasnya di Tangerang, Rabu.
Yandri menjelaskan bahwa para calon jemaah ini diduga akan menunaikan ibadah haji, namun hanya mengantongi visa kerja atau visa amil, bukan visa haji sebagaimana seharusnya.
Dari total 36 orang, sebanyak 34 merupakan calon jemaah dan dua lainnya adalah pendamping. Mereka terdaftar dalam penerbangan SriLankan Airlines UL 356 rute Jakarta–Colombo–Riyadh, yang dijadwalkan berangkat pada Senin, 5 Mei 2025, sekitar pukul 15.00 WIB.
“Petugas Imigrasi mencurigai keberangkatan mereka saat memeriksa dokumen. Dugaan kuat bahwa mereka adalah jemaah haji yang berangkat secara tidak resmi,” imbuhnya.
Rombongan tersebut diketahui berasal dari berbagai daerah seperti Tegal, Brebes, Lampung, Bengkulu, Palembang, Makassar, Medan, dan Jakarta, dengan rentang usia 35 hingga 72 tahun. Mereka telah membayar biaya keberangkatan antara Rp139 juta hingga Rp175 juta kepada dua orang pengurus yang diketahui berinisial IA dan NF.
Keduanya disebut tidak memberi tahu calon jemaah bahwa visa yang digunakan adalah visa kerja. Para jemaah percaya karena IA dan NF pernah berhasil memberangkatkan jemaah di tahun sebelumnya.
“Setelah tiba di Arab Saudi, mereka berencana mengurus izin tinggal atau Iqomah. Dengan dokumen itu, mereka berharap bisa tetap berada di sana dan menjalankan ibadah haji,” terang Yandri.
Saat ini, pihak kepolisian masih mendalami dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh IA (48 tahun) dan NF (40 tahun) terkait penyelenggaraan haji nonresmi ini.
Hingga kini, Polresta Bandara Soetta telah menggagalkan keberangkatan total 117 calon jemaah ilegal dari berbagai daerah, termasuk Kalimantan, Sumatera, dan Jakarta.
Penyidikan dilakukan dengan menggandeng Kementerian Agama. Adapun ancaman hukuman bagi pelaku mengacu pada Pasal 121 jo Pasal 114, atau Pasal 125 jo Pasal 118A, serta Pasal 19 UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang telah diubah melalui UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
“Para pelaku dapat dijerat hukuman pidana hingga enam tahun penjara dan denda maksimal Rp6 miliar,” tutup Yandri.***