KORAN INDONESIA – Brigadir Jenderal Polisi Nunung Syaifuddin, selaku Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, mengungkapkan bahwa pihaknya tengah mendalami perizinan impor yang digunakan oleh PT Sumber Hidup Chemindo (SHC) dalam perkara perdagangan ilegal bahan kimia berbahaya jenis sianida yang baru-baru ini berhasil diungkap.
“Kami akan menggali lebih dalam terkait izin impor yang dimiliki. Fokus kami juga pada kegiatan impor secara umum dan kuota yang dimiliki oleh para importir,” ungkap Brigjen Nunung saat memberikan keterangan di Mabes Polri, Jakarta, Rabu.
Ia menambahkan bahwa PT SHC sebenarnya bukanlah perusahaan yang memiliki legalitas untuk melakukan impor sianida dari luar negeri.
Brigjen Nunung menjelaskan, hanya dua entitas di Indonesia yang sah secara hukum untuk mengimpor sianida, yakni PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dan PT Sarinah, yang keduanya merupakan BUMN.
“Kalau ada perusahaan lain yang mengimpor, itu pun harus digunakan untuk keperluan internal dan wajib mengantongi izin resmi dari Kementerian Perdagangan,” tegasnya.
Namun kenyataannya, lanjutnya, PT SHC melakukan transaksi dengan memanfaatkan izin dari perusahaan tambang yang sudah tidak berlaku atau kadaluarsa.
Bahan kimia impor tersebut kemudian disalurkan ke sejumlah pihak atau distributor yang tersebar di berbagai wilayah, khususnya di kawasan timur Indonesia.
“Sebagian besar distributor berada di Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Tengah,” tambahnya.
Pihak kepolisian juga akan menelusuri lebih lanjut perusahaan atau pihak-pihak yang diduga menjadi penerima pasokan sianida ilegal tersebut.
Rangkaian Peristiwa
Kasus ini pertama kali terungkap setelah Polri mendapatkan laporan mengenai dugaan perdagangan ilegal bahan kimia sodium cyanide yang diduga dilakukan oleh Direktur PT SHC, Steven Sinugroho.
Pada 11 April 2025, tim penyidik melakukan penggerebekan di gudang milik PT SHC yang berlokasi di Surabaya. Berdasarkan informasi yang diperoleh saat itu, rencananya akan ada pengiriman 10 kontainer berisi sianida. Namun karena adanya penggeledahan, pengiriman dialihkan ke gudang lain di wilayah Pasuruan.
Dalam penyidikan lebih lanjut, diketahui bahwa perusahaan tersebut menyimpan bahan kimia berbahaya itu di dua lokasi terpisah.
Beberapa saksi telah dimintai keterangan, termasuk Steven sendiri, yang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.
Modus operandi yang digunakan adalah dengan mengimpor sianida dari Tiongkok memakai dokumen milik perusahaan tambang emas yang sudah tidak lagi aktif. Kegiatan ini telah berlangsung selama sekitar satu tahun dengan jumlah total impor mencapai 494,4 ton atau setara hampir 9.900 drum.
“Awalnya bahan ini digunakan untuk keperluan produksi internal. Tapi kemudian dijual tanpa izin resmi,” kata Brigjen Nunung.
Sianida tersebut diduga diperjualbelikan secara ilegal kepada para penambang emas di berbagai daerah.
Dalam distribusinya, bahan kimia itu dikirim tanpa label atau dipindahkan ke wadah lain, termasuk drum milik PT PPI, guna menyamarkan asal-usulnya.
Steven disebut memiliki banyak pelanggan tetap, dengan pengiriman rutin sekitar 100–200 drum dalam satu transaksi, dengan harga per drum sekitar Rp6 juta.
Barang Bukti dan Sanksi Hukum
Dalam operasi penindakan, aparat menyita ribuan drum sianida dari berbagai negara asal dan merek. Di antaranya, 1.092 drum berwarna putih dan 710 drum hitam yang berasal dari Hebei Chengxin Co. Ltd. asal Tiongkok.
Selain itu, ditemukan pula ratusan drum tanpa label serta drum dari perusahaan lain seperti Taekwang Ind. Co. Ltd. asal Korea dan dari PT Sarinah.
Di lokasi penyimpanan di Pasuruan, polisi menemukan sebanyak 3.520 drum sianida bermerek Guangan Chengxin Chemical yang memiliki ciri khas warna hijau telur asin.
Atas perbuatannya, Steven dijerat dengan Pasal 8 ayat (1) huruf a, e, dan f juncto Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ia terancam hukuman maksimal 5 tahun penjara atau denda hingga Rp2 miliar.***
Ilustrasi: Siobhan Howerton/Pexels